Total Tayangan Halaman

Kamis, 18 Agustus 2011

Teachers Achievements : Perjalanan (Politik) Pendidikan Kewarganegaraan


Perjalanan (Politik) Pendidikan Kewarganegaraan[1]
Oleh
Satriwan, S.Pd

            Ramai-ramai bicara Pancasila yang mulai “dipinggirkan” secara sistemastis dalam pendidikan nasional menjadi sangat menarik. Pancasila dalam sistem pendidikan nasional, tak lepas dari sebuah mata pelajaran yang bernama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam istilah asing disebut Civic Education atau Citizenship Education. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PKn merupakan salah satu kelompok mata pelajaran yang wajib diajarkan di setiap satuan pendidikan. Artinya mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi, PKn mesti diajarkan karena ini amanah undang-undang.
Walaupun perjalanan sejarah (politik) PKn sebagai mata pelajaran senantiasa seiring dengan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan jika dibaca dalam perspektif Gramsci mengenai hegemoni, PKn merupakan salah satu instrumen hegemoni negara yang cukup efektif.
            Diawali pada masa Orde Lama (Orla) dengan istilah Civics (Kewarganegaraan) pada tahun 1959 sampai tahun 1962. Tahun 1962 pemerintah berhasil membuat buku pedoman tentang Civics kemudian diindonesiakan menjadi Kewargaan Negara. Berisi tentang sejarah perjuangan rakyat Indonesia, pidato kenegaraan Soekarno, ideologi Pancasila, Konstitusi, demokrasi dan ekonomi terpimpin, kewajiban dan hak warga negara, manifesto politik dan hak asasi manusia (HAM). Tahun 1968 dibuatlah kurikulum pendidikan oleh pemerintah yang berakibat kepada berubahnya nama Kewarganegaraan menjadi Kewargaan Negara. Kemudian era Orde Baru (Orba) lahirnya Kurikulum 1975 nama Kewargaan Negara diganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pemantapan PMP sebagai mata pelajaran wajib di setiap satuan pendidikan ini diperkuat lagi dengan lahirnya Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Visi utamanya yaitu terbentuknya masyarakat “pancasilais”.
            Sampai pada lahirnya Kurikulum 1994, nama PMP berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Walaupun namanya silih berganti sesuai perkembangan kurikulum nasional, tetapi pesan filosofis dan politik PPKn tetap satu yakni membentuk dan mempersiapkan warga negara yang baik. Nilai-nilai moral Pancasila tetap mengisi dan menjadi standar baku sebagai arah dan pijakannya. Pada masa Orba (dengan P4), pelajaran PPKn  disampaikan dengan menjenuhkan bahkan bersifat indoktrinasi. Model pembelajaran yang kaku dan doktriner tersebut membuat pelajaran PPKn menjadi tidak menarik. Walaupun yang disampaikan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa seperti toleransi, gotong-royong, kerja sama, kerukunan, patriotisme, keadilan dan demokrasi Pancasila.
            Tumbangnya Soeharto pada reformasi 1998, berdampak pada dirombaknya sistem politik termasuk nasib P4 (yang kemudian dihapuskan). Kurikulum suplemen 1999 yang dibuat untuk mengoreksi Kurikulum 1994, ditambah trauma politik yang kuat terhadap rezim Orba, maka muatan PPKn diupayakan lebih dialogis, terbuka dan demokratis. Kemudian dibuatnya Kurikulum 2004  juga berdampak pada materi PPKn. Yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 menggantikan Kurikulum 1994. Dimensi dan muatan PPKn dalam KBK yaitu pada Pancasila, politik, hukum dan konstitusi, HAM, moral dan nilai dan keterampilan kewarganegaraan. Proses reorientasi muatan dan materi PPKn mulai dilakukan yang berimplikasi terhadap model dan strategi pembelajaran (oleh guru) di tiap satuan pendidikan. Namun lahirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 mengubah total materi dan muatan PPKn yang diganti namanya menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
            Istilah PKn menandakan bahwa Pancasila seakan “dihilangkan” dalam muatan pembelajaran PKn di tiap satuan pendidikan. Jika dilihat buku pelajaran PKn saat ini di sekolah-sekolah memang materi PKn dirasakan sangat berat bagi peserta didik, apalagi di tingkat dasar. Namun materi ideologi Pancasila sebenarnya tetap ada baik di tingkat dasar maupun menengah. Baik secara formal sebagai bagian pembahasan (Bab Pancasila/Dasar Negara), maupun sebagai spirit PKn yang filosofisnya tetap Pancasila. Dinamika perjalanan sejarah PKn tak terlepas dari politik (rezim) penguasa. Jika pada masa Orba, PKn diproduksi sebagai instrumen penjaga status quo rezim. Maka era pasca reformasi saat ini perlu adanya revitalisasi bahkan dibangunnya paradigma baru PKn. Seperti yang diungkapkan oleh Azis Wahab, jika paradigma baru PKn  menuntut adanya perubahan dalam seluruh aspek pembelajaran PKn, dimulai dari tujuan sampai pada pengembangan bahan ajar, metode pembelajaran dan penilaiannya (2007). Namun yang  juga vital adalah PKn harus menjadi instrumen pendidikan yang terbebas dari hegemoni rezim, demi merawat kepentingan politiknya. Semoga ini tidak terjadi.



[1] Tulisan ini dimuat di Koran Republika Edisi 1 Juni 2011 dengan Judul Perjalanan Pendidikan Kewarganegaraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar