Pendidikan Karakter dalam Bingkai Multikulturalisme[1]
Oleh
Satriwan, S.Pd
Dalam konteks nasional pendidikan karakter menjadi tema utama diskursus pendidikan, bahkan dijadikan spirit pembangunan dunia pendidikan oleh pemerintah. Lebih kepada momentum, sebab suasana kebangsaan yang sedang mengalami degradasi etis-spritual. Untuk menjawabnya tentu pendidikan menjadi ujung tombak solusi bangsa tersebut. Kemudian ditindaklanjuti oleh pembuatan blue print, strategi implementasi pendidikan karakter di setiap satuan pendidikan di Indonesia, suatu hal yang sangat positif memang. F.W. Foerster (1869-1966) seorang pedagog Jerman, mencetuskan pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi.
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi yaitu seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Secara konseptual empat komponen utama pendidikan karakter tersebut fardhu bagi setiap guru untuk dipakai di sekolah. Suasana pembelajaran yang mengundang (an invitational learning environment), meminjam istilah Conny R. Semiawan. Proses pembelajaran yang mengundang siswa menjadi penuh akan nilai-nilai kebajikan. Setiap tindakan terukur sesuai nilai dan norma etis yang hidup dan mencerahkan. Mengundang siswa memiliki karakter teguh, berprinsip tidak terombang-ambing oleh nilai-nilai buruk (bad values) yang terlihat secara ril di lingkungan, media massa, internet atau televisi. Mengundang siswa agar memilik komitmen tinggi akan tercapainya lingkungan masyarakat yang berkeadaban. Mengundang siswa memiliki karakter saling percaya (mutual trust) dengan sesama. Apakah hanya siswa yang menjadi fokus pendidikan karakter? Tentu tidak demikian idealnya. Guru dan setiap komponen masyarakat sekolah mesti menghidupkan suasana yang berkarakter dan berkeadaban di sekolah. Sekolah menjadi miniatur peradaban yang mampu menjadi logosentrisme (istilah Derrida) peradaban itu sendiri.
Sebagai miniatur peradaban yang meniscayakan pluralisme (kemajemukan), peradaban sekolah mempunyai potensi kemajemukan seperti agama, status ekonomi, sosial, etnis, adat-istiadat termasuk gender. Bahkan konteksnya sekarang kemajemukan itu ditambah lagi dengan status sekolah, sekolah biasa (kategori mandiri) dan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) yang notabene mahal (terlihat eksklusif). Guru diuji untuk menerapkan pola dan strategi pendidikan karakter yang berlandaskan pluralisme dan multikulturalisme. Guru menjadi kunci utama implementasi pendidikan karakter di sekolah, tentu dengan tauladan (uswah hasanah). Meminjam istilah William Arthur, guru yang biasa hanya berbicara, guru yang bagus menerangkan, guru yang hebat mendemonstrasikan dan guru yang agung mengisnpirasi. Tantangan pendidikan karakter di sekolah justru terletak pada sistem pendidikan dan lingkungan ril di sekolah itu sendiri. Tujuan pendidikan nasional akan tercapai, jika pendidikan karakter senantiasa berpijak bahwa kita memang dilahirkan berbeda (plural/multikultur), namun segala perbedaan tersebut adalah sebagai penanda utama bahwa kita mutlak butuh terhadap yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar